Showing posts with label random thoughts. Show all posts
Showing posts with label random thoughts. Show all posts

Life in 2017


2017 is almost over. Tiap udah pertengahan Desember begini, suka ngebatin, "Wah kok nggak kerasa ya" gitu nggak sih? Saya iya banget. #tanyakenapa


Tadinya di opening, saya mau describe hidup saya di 2017 dalam satu kata. Ternyata kok susah ya. Nggak nemu yang pas. Err. Jadi yaudah dijembreng aja lah. Bakal panjang ini naga-naganya.

Things come and go. People come and go. Rasanya itu ungkapan yang cukup tepat untuk menggambarkan 2017 saya, dan 2017nya orang-orang juga sih. Hahaha. Ungkapan yang general banget soalnya.

Btw, Windi juga ngerekap 2017. Ceritanya bisa dibaca di sini.

Tahun ini saya bersyukur banget pemerintah udah nyediain vaksin campak rubella gratis. Seneng juga bisa sedikit involved secara langsung dalam iklan layanan masyarakatnya. 


Tapi ternyata itu cukup menguras emosi, especially when dealing with those antivaksin yang ulala kadang nggak make sense. Itu bikin saya makin nyadar kalau capek hati itu ternyata bisa beneran badan ikut capek dan bahkan bisa jadi sakit. Beneran saya jadi kumat migrain kalau abis baca dan debat sama antivaks oh lord berikanku kesabaran biar nggak reaktif sama mereka tolong.

Bawaannya pengen sumpah serapah bener deh.


I feel like a real bad mom this year, tbh.. Karena saya sering nggak sabar ngadepin Ubii, sering ngeluhin Ubii ke Adit. Tantrum-tantrum Ubii yang saya nggak ngerti gimana dealingnya ternyata menguras. Kemarin itu, saya seringnya lihat ke atas. Ke temen-temen berkebutuhan khusus Ubii yang udah banyak progress nya. Lupa buat lihat ke bawah, bahwa masih banyak loh anak-anak lain yang juga masih struggle.

Baca: The Hardest Phase About Having Ubii So Far

Sempet jadi malu sekali karena rasanya saya jadi nggak bersyukur. Sesulit apa pun Ubii dihadapi di rumah, I actually have plenty reasons to be grateful when it comes to her medical needs. Ubii selalu bisa terapi rutin, ke dokter dan nebus obat bulanan rutin. Walau misal agak jauh juga nggak jadi soal karena ada driver. Di rumah pun ada Mbak Nur yang bantuin saya.

Di luar sana masih banyak yang belum bisa seperti itu karena keterbatasan akses dan biaya. Di rumah jagain sendiri mau anak spesialnya udah seberat apa pun karena nggak ada nanny. Belum yang di luar Jawa, biaya ada, tapi tenaga terapisnya yang minim. Kompleks sekali, dan seharusnya saya bisa lebih bersyukur.


Finally bisa mikir gitu setelah udah adem aja. Pas lagi capek-capeknya ya hanya bisa mengeluh, mau apa lagi.

Baca: Ibu Boleh Mengeluh Kok

Ini juga menyadarkan saya bahwa everything comes with a price. Kami bisa menikmati fasilitas kesehatan yang memadai. Vaksin anak-anak dan saya ditanggung asuransi, beli kacamata nggak perlu keluar duit, etc, tapi ya harus LDR sama Adit.

Dulu mikirnya gak pentinglah bisa kecover urusan kesehatannya, yang penting tinggal seatap sama Adit. Reality strikes ternyata gabisa begitu. Kebutuhan kesehatan Ubii banyak. Dan ternyata 2017 ini kepake banget asuransi kantor Adit di saya karena saya opname sekali, bolak-balik ngobatin eksema, tes alergi, butuh kacamata, etc.


All of which makes me realise that ya bener orang Jawa bilang wang sinawang itu. Orang lain liatnya mungkin enak, padahal belum tentu. Temen saya kalo tahu saya bisa pap smear, vaksin HPV, etc pakai asuransi pasti bilang saya beruntung banget. Padahal ada harga harus LDR yang kudu kami bayar.

Baca: Diari Papi Ubii #4 - The Motherf*cker Called Distance

Tahun ini cukup keras buat marriage saya. Kemarin itu pas Ubii lagi difficult karena tantrumnya (4 bulanan kalo nggak salah), saya dan Adit sering banget bertengkar. Kombinasi antara capek, sedih, dan bingung menghadapi Ubii, lalu kami lampiaskan ke satu sama lain. Sempet banget sampai berantem gede yang pakai, "Apa kita cerai aja?"

Berantem sama Adit sih sering. Tapi kalau sampai udah ada the divorce word, itu huge buat kami. Sedih banget kemarin itu bener-bener sedih. Udah lagi capek sama Ubii, eh sama Adit nya juga malah blangsak. Sempet yang ngerasa jadi orang termalang gitu lebay. Pengin minggat tapi urung daripada makin runyam. Pengin tekan tombol off nggak mau mikir apa-apa lagi.

Sedih karena kami bisa sampai kayak gitu padahal nggak ada masalah rumah tangga yang gimana-gimana. Nggak ada orang ketiga. Nggak ada kekosongan nafkah lahir batin. No. Sedih karena kok ya kami got worse malah karena capek menghadapi Ubii, yang padahal at the same time juga alasan kami menikah dan berjuang menyatukan perbedaan.


Sempet yang akhirnya jadi gak kontakan sama Adit sama sekali. Sama-sama masih marah dan empet. Segala sugesti positif jadi terasa bullshit doang, sampai akhirnya kami check in berdua. A little bit drunk dan janjian apapun unek-unek yang kami rasain selama ini, utarain aja. Gaboleh marah karena ya emang inilah the moment of truth. Finally it resolved well. Thanks to Baileys!

Tuhan Maha Membolak-Balik hati manusia itu saya juga rasain banget tahun ini. Dulu, saat Ubii belum pernah setantrum ini, saya ngerasa Aiden's presence is a blessing in disguise. Betapa saya jadi terhibur oleh polah Aiden sehingga kelelahan ngurus Ubii jadi nggak begitu kerasa.

Baca: Aiden's Story 1-7

And then after Ubii had her countless tantrums for 4 months, saya sempet ngerasa sebaliknya. That Aiden's presence is like a disaster in disguise. Iya sih lucu, menghibur, dan dia bikin saya ngakak melulu. Tapi saya jadi lebih tidak sabar saat dealing with Ubii, karena sudah ada 'pembanding' nya. 


Shitty juga di masalah uang. Sempet saya happy banget karena bisa nabung. Lalu 4 bulan stress ngadepin Ubii tantrum itu, saya jadi boros banget. Nyalon lah, pijet lah, makan di luar lah, etc saya cari pelampiasan dan habisin banyak uang. Lalu kini saya ngerasa miskin kesel.

Circle pertemanan saya juga cukup berubah. Ada teman yang pergi, udah nggak sedeket dulu. Ada yang datang. Ada pula yang lama dan masih bertahan. Lama-lama kami sama-sama setuju bahwa yang namanya sahabat itu bukan yang wajib say hi tiap hari, gosipan bareng tiap hari, because come on, waktu dan prioritas udah makin beda. Lama-lama kami menyadari bahwa ya nggak bisa kayak dulu dichat bisa cepet bales lalu ngambek kalau dibales lamaan, karena ya ada hal lain yang mungkin lebih penting didahulukan.

Baca: Friendship Doesn't Always Last

Seorang sahabat saya akhirnya bilang, "Ges, nggak usah terlalu dipikirin kalau ada temen yang pergi. At the end sahabat kita itu ya diri kita sendiri." I guess I understand her point very well.

Untuk personal achievement related to blogging in 2017, I'm pretty satisfied. Tahun ini pageviews blog Diari Mami Ubii per bulan naik banget ketimbang 2016. Jumlah postingan juga lebih banyak ketimbang tahun lalu. 2016 cuman 154 blogpost, tahun ini ada 179.

Baca: Produktifnya Orang

Ada beberapa pembaca baru yang langganan komen atau nge-DM, that makes me happy. Kadang DM nya berkelanjutan jadi ngobrol. Makaci yaaaaa yang udah suka mampir ke blog akikuk mwah mwah!




Actually, saya ngerasa punya circle pembaca baru. Soalnya gini, tahun Desember 2016 itu, saya bikin postingan tentang resolusi 2017 saya mau jadi Gesi yang lebih jujur. Intinya, saya akan memperbanyak menunjukkan diri saya sebagai Gesi yang cuwawakan gajelas begini, ketimbang melulu sebagai Grace Melia yang founder komunitas rubella.


Believe it or not, setelah itu (and maybe setelah gaya nulis saya jadi rada beda, lebih berani nulis tentang certain topic) 2-3 bulanan pageviews blog anjlok. Seolah pembaca yang dulu-dulu lebih suka Gesi yang image nya Grace Melia si founder komunitas yang santun dan lurus. Tapi kan ya bomat. Saya tetep ngeblog-ngeblog aja. Ternyata lama-lama pageviews oke lagi, bahkan higher than last year.

Setelah itu saya ngerasa lebih plong loh. Dulu tuh saya jarang kayaknya upload foto keliatan tato. Nggak seterbuka ini bahas saya dan Adit beda agama. Dan hati-hati banget nyinggung asal muasal saya hamil Ubii. Eventually lelah. I didn't feel comfortable that way. Saya masih seneng pakai celana pendek dan baju kutungan. And I don't think my preggo story with Ubii is something I should be hiding like itu adalah aib. Nggak. Karena saya bangga saya pilih mempertahankan dia even when I was still single that time. Being able to talk about it ternyata bikin saya lebih bahagia.

2017 nggak melulu shitty. Banyak hal yang menyenangkan juga. Bisa ketemu Sheryl Sandberg COO nya Facebook di Singapore, liburan singkat sama Icha dan Windi di Singapore, bisa mulai baca buku lagi, dan bisa garap buku duet sama Icha walau belum kelar tapi udah hepi aja bawaannya.

Baca: Story From Singapore

Tahun 2017 juga tahun di mana saya lebih ngerasa ada beban dari Rumah Ramah Rubella karena ada beberapa project yang terbengkalai nggak jalan terkendala tenaga dan biaya. Cari team yang mau capek voluntarily diajak mikir dan sevisi itu ternyata sulit.

But we've come up with some ideas for next year sih, so yah cukup lega, semoga jalan.

Setelah nulis ini, kalau diminta menggambarkan 2017 in one word, kayaknya saya udah bisa nih.

Exhausting.


Hahahaha, apakah terlalu negatif? Itu sih yang saya rasain hahahaha especially di pertengahan tahun sampai akhir. Soalnya mulai Juli itu udah start campaign imunisasi MR, terus sambung menyambung sama project buku, project sama Facebook, tantrumnya Ubii yang berbulan-bulan, dan blangsak sama Adit.

Tahun depan masih ada kampanye imunisasi MR tahap II. Agenda sama Facebook juga belum kelar. Februari masih mau bikin short film gitu sama mereka dan temen-temen Rumah Ramah Rubella. Jadi kayaknya tahun depan saya nggak pengin bikin personal project yang lain-lain lagi deh. Kelarin agenda Facebook dan buku dulu aja. Rehat nggak mau mikir, terus kampanye imunisasi MR.

Baca: Feeling Small Sucks

Tahun ini sempet mikir yang, "Ah mumpung kan. Mumpung masih muda, harus ingin mencapai dan mengerjakan banyak hal!" Wow ternyata capek. Capek ngatur prioritas, capek mengatur sabar, capek badan sampai sakit.

2017 resolusi saya adalah lebih jujur sama diri sendiri, kayaknya itu tercapai. 2018, resolusinya, mau lebih realistis dalam menyusun mimpi! Dan mau lebih telaten lagi ngelatih Ubii, karena kemarin semangat saya bener-bener drop saat Ubii suka tantrum.

Btw selamat Natal ya bagi yang merayakan, dan selamat liburan untuk semuanya. Sehat-sehat yah!



Love,





Sebagai Anak Generasi 90an, Kurindu Ini


Belakangan ini saya kangen sama masa kecil. Kayaknya itu diawali sama keletihan lihat media sosial yang banyak berita panasnya. Yang lagi hot tentang aksi ingin boikot Film Naura & Genk Juara yang menurut saya SANGAT amat berlebihan itu. Kenapa semuanya sekarang dikait-kaitin sama agama sih. Capek.


Lanjutan dari capek sama media sosial, saya jadi nostalgia zaman kecil dulu yang nggak ada medsos, nggak gampang ribut, dan nggak gampang kepancing sama isu-isu SARA. And next malah jadi ngelist di otak, apa aja sih yang saya kangenin dari masa kecil. Lahirlah postingan ini deh.


Ini teronggok sebagai draft mayan lama, makanya openingnya film Naura. LOL.

Sebagai anak generasi 90-an, saya kangen banget sama hal-hal berikut ini:

1) Wartel

Sekarang kangen gebetan tinggal stalk media sosial atau video call dengan gampang yah. Dulu ngumpulin koin dulu buat bekal ke wartel. Udah diangkat nih telpon nya, eh malah saya tutup dong karena nggak kuku denger suara gebetan. Mental belum siap alias cemen, tapi pengin denger suaranya. Wkwkwk so alay.

Perjuangannya kalau punya gebetan yang di luar kota jadi harus interlokal yang lebih boros. Bener-bener ngais-ngais cari koin receh di kantong celana, kantong tas, dll. Kalo nemu, alhamdulillah berasa nemu harta karun. Tapi tetep, di bilik wartel nggak fokus sih, soalnya sambil mantengin argo telepon. Perjuangan menjemput cinta monyet.


Yang bikin kangen dari wartel itu ... BAU NYA. Gagang telepon biasanya rada bau bau yang khas gitu kan, ya nggak? Nah itu dia yang bikin kangen. 

Sekarang semua orang punya smart phone, wartel udah tergusur banget, so bye wartel, thanks for the good memories yah.


2) Es Serut

Ngalamin nggak di depan SD ada abang-abang yang jual es serut dikasih sirup berlimpah ruah? Ada sirup yang warna merah, ijo, dan kuning. Tergantung kita mau request warna apa. 

Rasanya? Biasa banget sebenernya. Cuman adem dan manis yang berlebihan banget. Tapi kangen euy. Sekarang di depan SD-SD kalau saya perhatiin, jajanannya paling macam sosis, tempura, nugget, cilok, cireng, cimol, batagor, dan sebangsanya. 

Sekalinya liat es serut lagi di pasar malam. Harganya 15 ribu. Bentuknya udah more sophisticated. Ada astor, choco chips, oreo nya segala. Demi rindu, saya beli deh. Ternyata abis itu rada nyesel buang 15 ribu untuk adem-adem yang manisnya kebangetan lalu gigi saya rada ngilu. 


Faktor U ya sis.


3) Kaset Tape

Dulu pengin denger lagu mah artinya ngumpulin duit untuk beli kasetnya. Nggak segampang sekarang tinggal search di YouTube atau download di iTunes. Bener-bener saya nabung. Kaset-kaset yang pernah saya beli ya of course yang hits di zaman saya lah. Sebut aja Westlife (saya paling suka Mark btw), AQUA (lagu legendarisnya yang Barbie Doll), Meteor Garden, Putri Huan Zhu, Kabut Cinta, dan drama-drama Cina gitu deh.


Btw dulu yang marak itu drama Cina sama telenovela Marimar, Maria Mercedes, Maria Bellen, Dulce Maria, dan maria-maria lainnya lol. Drama Korea masih berupa sesuatu yang sangat asing.

Punya kaset baru itu berarti ada kesibukan baru, karena abis itu saya jadi sibuk ngapalin liriknya biar bisa sing along. Kalau di kemasan kaset itu pasti ada liriknya. Seru banget abis pulang sekolah, mendekam di kamar, ngapalin lirik.

Baca: Koleksi Gesi dari Masa ke Masa

Apa itu masalah kehidupan?


4) Sinetron ringan

Jin dan Jun, Jinny Oh Jinny, Kanan Kiri Oke, Panji Manusia Millenium, Bidadari, Boneka Poppy, Saras 008, Anak Ajaib, Mister Hologram, Tuyul dan Mbakyul, ya gitu-gitu lah.


Kangen bok liat sinetron ringan yang kaya gitu. Soalnya sekarang sinetron kalau nggak cinta-cinta ya serius kayak tentang agama. Kurindu tertawa bodoh. Dan kurindu liat sinetron yang nggak dikit-dikit dikasih blur sensor ah.


5) Nyek-nyekan Nama Orangtua

INI NIH, INI!

Yang bikin seru masa-masa SD. Hahaha. Paling deg-deg an kalau misal ada temen yang tahu nama orangtua karena abis itu biasanya jadi bahan nyek-nyekan. 


Saya kena banget tuh, terutama nama Papa saya. Tahu nggak dulu ada lagu kaya begini:

Mamaku Putri Diana
Papaku Pangeran Charles
Nenekku Ratu Elizabet
Kakekku Bambang Gentolet

Nah, nama Papa saya itu Bambang. Jadi mereka suka ngenyek saya pakai lagu itu hhh.


Mungkin nyek-nyekan nama orangtua ini jadi pembelajaran untuk sebagian anak. Lalu akhirnya, temen-temen saya jadi kreatif saat nyebut nama Papa mereka. Aslinya Jono, mereka ngakunya John atau Jo. 

Leh uga.

Nyek-nyekan nama ortu begini masih dilakukan nggak sih sama anak-anak sekarang? Serius nih nanya.


6) Permainan tradisional

Bener nggak yah saya nyebutnya. Pokoknya yang saya maksud itu adalah mainan-mainan macam engklek, dakon, gobag sodor, betengan, slekdor (ular naga gitu lah), etc yang intinya main beneran, dan main sama-sama.

Dulu zaman saya kecil, kalau main sama temen ya mainnya ini. Asik aja. Lari-larian (kecuali dakon), keringetan (sekalian olahraga ya), jejeritan heboh bareng, sampai main kesorean yang harus dipanggil pulang buat mandi sore lol.


Zaman adik saya (saya dan adik beda 12 tahun btw), saya lihat udah mulai beda. Temen-temen adik saya tuh kalo main ke rumah kami, mainnya adalah game di komputer. Model game taktik-taktik an atau tembak-tembak an.

Baca: Diari Papi Ubii #2 - Is Video Gaming Really That Dangerous?

I'm not saying that games begitu tuh jelek, nggak juga. Cuman saya kangen aja sama permainan tradisional yang dulu sering dilakukan.

Dan dulu banyak banget permainan dengan lagu yang entah dari mana liriknya dan siapa yang nyiptain. Kayak yang satu ini permainan saya banget:

Sakura di rumah ada pesta
Pestanya Mbak/Mas ... (sebut nama anak yang di tengah)
Mbak/Mas ... minta apa?!


Misal dia minta kursi, lalu kami menekuk-nekuk tubuh kami biar jadi kursi. Terus dia ngedudukin kami. Seru banget loh.

Entah mengapa Sakura. Mungkin penciptanya orang Jepang? #halah

Ada satu lagi yang bener-bener masih saya apal liriknya:

Mi mi mi
Mi atas, mi bawah
Mi depan, mi belakang
Mi satu dua tiga
Mi tiga dua satu
Mi gulung gulung gulung (2x)

Mama pergi Papa pergi
Ambil tali, gantung diri (wtf right)
Ada tikus
Tikusnya empat
Ada bunga
Ada pocong, berbaju putih

Putih putih melati Alibaba
Merah merah delima Pinokio
Siapa yang baik hati Cinderella
Tentu disayang Mama

Ada yang tahu lagu dolanan itu nggak? Hahaha.

Ini cuman nyanyian dengan gerakan gitu. Tapi seru aja. Dan saya masih inget sampai sekarang gerakannya. Bakal saya ajarin ke Aiden deh kayaknya. Tapi lirik ambil tali gantung diri mungkin bakal saya revisi wtf.

Wow baru sampai 6 aja udah panjang, jadi saya sudahi aja deh hahaha. Kamu dong tambahin yaahh di komentar, kalau kamu kangen apa aja dari zaman dulu as generasi 90an?

Ayo ayo ceritain kamu kangen apa, mwah!

Have a nice Tuesday!




Love,







Images sources:
www[dot]inovasee.com/wp-content/uploads/2017/09/meme-wartel.jpg
www[dot]hipwee.com/wp-content/uploads/2015/03/il_fullxfull.350978996-750x614.jpg
cdn[dot]yukepo.com/content-images/listicle-images/2016/09/01/6669.jpg

Kantong Orang dan Kantong Kita


Salah satu efek malesin dari Instagram adalah kita jadi gampang suudzon ketika lihat orang lain beli, makan, atau pakai sesuatu dan menuduh itu hanya demi bisa pamer feed Instagram. Padahal mana tahu kalau mereka bener-bener ingin beli aja?


Misal fenomena artis buka toko oleh-oleh. Biasanya di grand opening, antrian mengular bahkan ada yang sampai nginep. And then we be like, "Kalo aku sih ogah antre jam-jam an cuman buat upload nih aku udah ngicip kue nya ertong A!" 

Saya juga orangnya akan ogah sih antre berjam-jam 'hanya' untuk makanan di hari pertama tokonya buka. Tapi, nggak jadi suudzon juga deh, pukul rata kalau SEMUA yang rela antre itu pasti HANYA demi pamer foto kue di Instagram.

Perkara judgmental macam ini juga banyak kejadian saat kita memandang pemakai barang-barang branded di Instagram yang harganya mahal.

"Kok dia boros banget ya, beli tas aja harus yang mahal, segitunya ya pengin eksis."
"Ya ampun, dia kalo beli mainan buat anaknya harus di toko mainan dalem mall loh. Aku mah cukup dengan di pasar."
"Beruntungnya suamiku yang istrinya cuman pake jarik. Kalo ibu-ibu jaman now sih pada penginnya pake baby carrier impor yang jutaan, jadi suaminya pasti harus kerja lebih keras lagi."
"Ga sayang uang amat sih kamu, beli skinker SK-II, padahal Garnier aja udah bagus tauk!"

... and so many more ...

Baca: Mompetition


Ah, nggak semua orang yang beli barang branded itu udah pasti boros, hanya demi eksis, cuman demi nggak ketinggalan, atau nggak sayang uang kok.

Lha kalo emang mampu beli barang branded?

Lha kalo gaya hidupnya memang seperti itu karena mereka memang berada?

Hanya karena kita pakai Garnier, bukan berarti kita lebih pintar mengelola jatah bulanan dari suami daripada ibu-ibu yang belinya SK-II. Jatah bulanan mereka dari suami juga lebih banyak kali?

Baca: Ngomongin Make Up, Yuk!

Hanya karena kita pakai jarik, bukan berarti kita selalu lebih irit dan sederhana dibanding ibu-ibu yang pakai Ergo dan kawan-kawannya.

Ada lho orang-orang yang emang terlahir di keluarga berada banget dan dikelilingi oleh saudara-saudara dan temen-temen yang juga berada banget. Otomatis ya dari kecil emang udah terbiasa pakai barang branded. Buat mereka, barang branded bukan pemborosan. It's just a part of them. Dan definisi boros mereka sama kita yang kelas menengah juga kan pasti beda.


Bukan semata-mata preference mereka ke barang branded itu berhubungan dengan uang. Bisa juga karena taste mereka juga udah terbentuk dari kecil. Jadi taste mereka ya emang hanya bisa terpuaskan dengan kualitas dan desain barang-barang branded. Mata mereka udah jeli untuk menilai estetika dari barang branded yang nggak mereka temukan di barang yang nggak bermerk.



Saya pun baru menyadari bahwa gaya hidup seseorang yang lebih mewah dari saya, bukan selalu karena dia boros. Tapi, ya karena level ekonomi nya beda aja. Jadi saya menganggap dia boros, padahal buat dia itu biasa.

Baca: Living Cost Vs Lifestyle Cost

Keluarga saya adalah keluarga yang sederhana. Keluarga Adit jauh lebih berkecukupan dibandingkan keluarga saya. Ternyata itu tercermin dari kebiasaan-kebiasaan saya dan Adit, yang awalnya bikin saya kaget terus bikin kami berantem.

Misal, perkara beli bakso. Di rumah saya dulu, kami cukup beli bakso 2 porsi untuk dimakan 4 orang, misalnya. Jadi 2 bakso disatuin dalam satu panci, dan kami makannya pakai nasi. No problem, tetep makan bakso, dan kami kenyang. Itu cukup buat kami.

Abis nikah sama Adit, niat saya beli bakso seporsi doang aja buat berdua, lalu makan pakai nasi. Seperti cara saya makan bakso dengan keluarga saya dulu. Ternyata Adit nggak bisa kayak gitu. Dia makan bakso nggak bisa pakai nasi. Harus beli porsi masing-masing. Kalau ternyata dia belum kenyang, maka dia akan beli seporsi lagi buat dia.

Dulu itu bikin kami berantem loh. Buat saya, Adit kok boros banget sih gila. Tapi buat Adit, di mana letak pemborosannya? Itu adalah caranya makan bakso seumur hidupnya sebelum dia nikah sama saya. Dia nggak terima dibilang boros untuk bakso.


(((BAKSO AJA DIBERANTEMIN)))

Contoh lain beli pakaian. Dulu sebelum nikah, biasanya Adit beli di Planet Surf, Oakley, dan kawan-kawannya. Sementara saya, beli di Ramayana atau di toko baju pinggir jalan aja jadi. Waktu udah nikah, jir saya kaget waktu Adit bilang mau beli celana harga sekian. Harga sekian itu kalau buat saya bisa kali dapet beberapa potong celana, mungkin plus kaos deh. Prinsip saya adalah mending dapet banyak walau entah awet atau nggak kalau untuk urusan baju lol.

Kemudian berantem, HAHAHAHAHA.

Baca: Berantem Karena Capek

Awal-awal nikah, kalau saya ajak Adit liat-liat pakaian di FO (Factory Outlet), dia cuman diem. Nganterin doang, tapi nggak ikut liat-liat. Padahal maksud saya ke FO itu biar kami berdua liat-liat, kan ada baju perempuan dan laki-laki, lengkap.

Di mindset Adit saat itu, pakaian bagus ya cuman ada di store-store yang ada di mall. Nggak tahu dia kalau barang FO itu juga oks modelnya. Akhirnya, saya gandeng ke bagian laki-laki. Saya ubek-ubek cari jogger pants. Eh ada loh yang bagus. Yaudah saya beli, biar Adit tahu bahwa nggak selamanya pakaian nggak branded itu pasti jelek. Abis itu dia pake, suka juga kan ternyata.

Terus sekarang Adit udah yang bangga pamer waktu dia dapet kaos 15.000 di PRJ. Ha!

Gesi : Adit = 1 : 0


Waktu Adit masih pakai yang serba branded, apakah itu untuk gaya-gayaan belaka? Ah, nggak sama sekali. Wong Adit selalu pilih yang logo merk nya mini. Dia malah ogah kalau pakai kaos yang logo brand nya segede gaban di dada. Malah sering nggak keliatan kalau Adit yang pakai barang branded sih, lol.

Contoh terakhir, parfum. Dulu zaman saya kuliah, parfum yang saya pakai itu parfum refill-refill an beli di kios-kios kecil pinggir jalan. Wangi nya dibuat menyerupai parfum yang original dan branded. Tapi kita tahu lah kalau parfum refill begitu tuh KW.

Dulu abis nikah, Adit bilang parfumnya abis mau beli. Ternyata parfumnya beli di The Body Shop. Believe it or not, saya menginjakkan kaki perdana di gerai The Body Shop itu abis nikah sama Adit. Dan ya nggeblak lah liat harganya. Lagi-lagi saya mikir kenapa Adit 'buang-buang duit' banget.

Baca: Ketika Bokek Melanda Hidupku

Untuk yang satu ini, Adit menolak keras. Ternyata dia punya alasan yang cukup idealis, karena dia ingin menghargai karya orang. Jadi ogah beli KW. Kami arguing, sampai akhirnya Adit punya senjata pamungkas, "Mi, cobain dulu biar kamu tahu bedanya. Aku jamin parfum TBS lebih awet daripada parfum refill kamu dan wanginya lebih soft."

Maka oke saya pun coba dan ya memang sih. Ternyata parfum yang punya merk lebih awet, kalau ini saya nggak bisa tampik. Untuk orang yang keteknya gampang keringetan kayak saya, ya pilih parfum yang awet walau lebih mahal jadi masuk akal.


Jadi, alasan pilih barang lebih mahal bisa juga karena alasan lebih awet atau menghargai karya orang.

Gesi : Adit = 1 : 1



Setelah ngalamin ada kebiasaan-kebiasaan yang beda dari Adit (plus dari lihat temen-temen dari aneka lingkaran sih), pelan-pelan baru saya nyadar.

💞 Ternyata pakai barang branded belum tentu demi pencitraan dan eksis. Bisa jadi karena seumur hidupnya emang kenalnya barang bermerek.

💞 Bisa jadi karena emang mau cari kualitas karena untuk beberapa hal, barang branded itu lebih awet. Contoh yang saya rasakan sendiri adalah puzzle. Keluaran ELC jauh lebih awet dan lebih aman daripada puzzle lokal.

Baca: Cool Parenting Nggak Harus Mahal Kok

💞 Definisi boros saya itu ternyata nggak bisa saya apply untuk menilai orang lain. Beda level ekonomi, tentu beda juga definisi boros nya, kan.

💞 Beli barang branded ya sah-sah aja dan bukan pemborosan kalau emang mampu, atau kalau kita membulatkan tekad untuk menabung. Yang penting nggak ngutil pos-pos budget kebutuhan pokok.

Baca: Tips Menabung Ala Gesi


Dan yang terpenting adalah mengenali dan embrace kemampuan finansial kita masing-masing. Tidak perlu merasa harus beli barang mahal kalau tujuannya hanya untuk saing-saingan. Baju nggak branded bukan berarti nggak bisa keliatan bersinar. Yang penting bajunya disetrika, nggak kucel. Kita wangi dan banyak senyum. Senyum nya senyum Pepsodent. Wkwk.

Mainan anak nggak branded juga nggak masalah. Toh emangnya anak liat merk? Kan nggak. Mereka nggak peduli kok mau mainannya mahal atau nggak.

Baca: Cool Parenting Nggak Harus Mahal Kok

Menerima kemampuan finansial ini akan bikin kita wolesan. Woles nggak gampang kena peer-pressure dan mensyukuri apa yang kita punya. Woles juga saat lihat temen yang dari atas sampai bawah pakai barang branded dan nggak kepengin nyinyirin "Kok dia boros lalalala."


Aduh udah panjang aja. Ya itulah ya intinya. Semoga bisa menjadi ajakan untuk mengurangi julid jugmental pada seseorang yang pakainya barang branded heheh.

Sampai berjumpa di tulisan saya selanjutnya dadah babai mwah!





Love,