Showing posts with label curhat. Show all posts
Showing posts with label curhat. Show all posts

Diari Papi Ubii #26: That Instagram Husband


Kalau ngisi acara sharing tentang Rubella atau blogging, kadang ada pertanyaan, "Suami Mbak Ges mendukung kegiatan Mbak Ges nggak sih?" Saat saya jawab oh dukung banget, maka pertanyaan akan lanjut ke bentuk dukungan Adit itu kayak gimana.


Untuk gathering sama member Rumah Ramah Rubella, Adit memang jarang banget ikut. Di tengah beberapa bapak yang ikutan, jarang keliatan batang hidung Adit. Bukan berarti nggak support, tapi emang cara orang support itu kan beda-beda yah. So this post is pretty much about it.

Adit:
A good marriage would be between a blind wife and a deaf husband — Michel de Montaigne

Kalau ada yang tanya, apa kontribusi terbesar saya sebagai seorang suami dari Grace Melia Kristanto? Jawabannya adalah: membiarkan dia melakukan apa saja yang dia suka. Saya bangga melakukan ini, karena saya paham untuk sebagian istri Indonesia, hal ini hitungannya masih privilege. Masih banyak orang-orang yang menganggap istri yang “dispesialisasikan” untuk mengurusi urusan rumah dan anak saja adalah hal yang ideal.


Saya tidak mau menghakimi. Tapi, domesticating Grace never occurs in my mind. Kenapa? Karena saya percaya ke Grace sepenuhnya. Dan saya yakin dia cukup dewasa untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. It’s that simple.

So yeah, I set her free. Hasilnya? It’s great. Segala pencapaian dia selama ini ya sedikit banyak gara-gara saya nggak pernah ngelarang dia ini-itu. Dari awal memang saya ngga nyangka bahwa kebebasan yang saya berikan akan digunakan Grace untuk sesuatu yang selfless: mendirikan Rumah Ramah Rubella. Kemudian, karena memang dari dulu suka menulis, saya encourage dia untuk melanjutkan blognya yang mangkrak menahun. Eh ngga disangka juga, dia bisa monetize blognya dengan baik. 



And then there is Instagram.

Ya, sosial media yang satu ini menjadi ujung tombaknya Grace mempenetrasi audiens untuk promosi postingan blog baru ataupun sekedar endorse produk. Selain impression yang didapat (biasanya) lebih banyak daripada sosmed yang lain, Instagram hits millenials even more by its visual-driven context. Tapi bagi Grace, tulisan tetep yang utama. Grafik, terutama fotografi, hanya sebagai komplementer tulisan saja. Coba deh lihat caption di setiap postingan Instagram dia. Selalu panjang. Kadang-kadang TL;DR. Yah mau gimana lagi, that’s her style. I love it anyway.


Pernah dalam satu kesempatan ada teman yang tanya ke saya, “Dit, selain kasih support dalam bentuk kebebasan, kamu kasih dia apa lagi?”

Well, di awal-awal Grace main Instagram, feed nya  N O R A Q U E  hahaha!! Fotonya banyak dikasih sticker ngga penting gitu. Terus banyakan juga fotonya overcast banget - rule “asal terang” sampe banyak detail yang hilang dengan penggunaan photo editing software berlebih, dan sebagainya. Nah, salah satu dukungan saya ke Grace, saya mencoba empower dia untuk lebih “melek secara visual”. Saya ngga bilang kalau saya jago dalam hal ini, but at least I know the basic. Saya mengajarkan Grace the rule of third, penggunaan white balance yang baik, dan sebagainya. Saya juga nggak pernah nolak kalau Grace baru bingung saat kurasi foto. Khusus untuk video editing, saya nggak pernah ngajarin dia. Tau-tau bisa sendiri. Heran juga.


Saya juga tidak pernah menyesal membelikan Grace sebuah ponsel yang kameranya mumpuni. Atau kamera mirrorless untuk mendapatkan hasil foto yang lebih bagus. Atau prime lens biar fotonya tambah dramatis. Atau 3-axis gimbal biar dapet footage video yang ngga tremor. Apalah nilai materi jika terbayarkan dengan melihat istri tertawa riang menggeluti hal yang disukainya dengan penuh gairah. It’s priceless.


Lalu, apakah dukungan saya ke Grace mulus-mulus aja?

Enggak.

Gara-gara Instagram pun kami sering berantem. You know, saya orangnya introvert. Sebisa mungkin saya menghindari crowd. Kalau lagi berdua, saya dan Grace selalu cari tempat yang sepi buat ngobrol. Resto yang ada live band-nya is a big no for me.

Nah, Grace ini kadang (even sering) minta fotoin secara tiba-tiba. Sialnya, tempat spot foto yang bagus biasanya rame gitu. It’s killing me when she strikes a pose then everyone is looking at us. LOL. 


Menurut HuffPost, the downside for being Instagram husband is: “You are usually in a situation where [an] image has to be taken by you with tons of people around, and you feel a bit embarrassed that you’re standing there for a full minute trying to capture the right shot.” Yeah, I’m one of the embarrassed husband. I know it’s stupid, tapi beneran loh, walaupun sudah sering banget dilihatin pas bawa Ubii keluar, tatapan orang asing itu SELALU bikin saya ngga nyaman.


Biasanya Grace bisa sensing kalau saya tau-tau jadi bete kalau disuruh motretin. Lalu dia ikutan bete. Hahaha… Dia pernah bilang (sambil marah-marah), “Kamu tuh lucu. Fotografer kok males motretin istri sendiri!” Mana kebanyakan dia protes minta foto berulang-ulang gara-gara standar estetika kita beda.

“Poninya jelek. Foto ulang!”
“Bajunya kelipet. Ulang! Gimana sih kamu tuh harusnya ngingetin!”
“Kurang centralised. Ulang!”

Saya makin kesel terutama kalau dia sudah mulai membanding-bandingkan.

"Kamu kok ga tau tau angleku sih. Icha aja baru kenal udah bisa fotoin aku bagus."


Well, pertama-tama, I am not a professional photographer. Kedua, waktu saya kuliah fotografi di art school, konsentrasi saya adalah photojournalism dan fine arts - yang mana fotonya kebanyakan tanpa fabrikasi dan pose. Apa adanya. Tapi pemahaman Grace, fotografer (apapun spesialisasinya) harus bisa motret model.

ERR.

Padahal, sangat tidak mudah lho motret manusia itu. Apalagi yang dengan pose. Selain paham pencahayaan, fotografer model harus paham dengan ekspresi, anatomi tubuh, kebiasaan model, bahkan spektrum warna make-up yang dipakai sama model. And I don’t have such skill. Kalau mau lihat foto-foto saya, modelnya kayak gini nih: http://adityasu.tumblr.com/ 

Jauh berbeda dengan feed IG-nya Grace kan?

Malas-malasan saya buat motret Grace ada juga faktor “luka lama”. Dulu banget pernah saya dan Grace berantem. Hardcore banget sampe bantingin barang-barang. Masalahnya apa sudah lupa pun. Tapi buntut dari berantem itu adalah: AirPort Time Capsule dan Macbook Pro 17” saya rusak dibanting Grace. Nggak bisa dibenerin. Padahal semua karya saya simpen disitu, Mulai dari jepretan pertama, ratusan rol film yang sudah diconvert ke digital, semua assignments yang udah pernah saya kerjakan, softcopy karya-karya di pameran, foto-foto repro, foto-foto perjalanan saya ke berbagai negara… it’s all gone.


Perlu waktu yang sangat lama untuk memaafkan Grace perihal ini. Bahkan sampai sekarang, saya kadang masih cringing kalau inget. So waktu Grace minta foto, saya selalu membayangkan adegan per adegan dimana kami berantem kemudian karya saya hancur di tangan Grace. Terus bete. LOL.


Tapi mau sampai kapan sih whining melulu?


All in all, I support Grace. Mungkin dengan Grace mainan Instagram dan minta difotoin frequently adalah cara semesta untuk mendamaikan saya dengan luka masa lalu sekaligus memberikan saya kesempatan untuk belajar spesialisasi fotografi selain fotojurnalisme dan fine arts.

Sabar ya Mi. Hehe...
Spend good moments as a couple and continue your life together filling it with great Instagram moments — Carlos Cabrera
Tabik!

***

Grace:

Hehe iya. Adit itu sering keliatan malu kalau saya minta difotoin di tempat ramai. Apalagi kalau saya sambil monyong-monyong atau berpose 4laY, beuh keliatan banget dia nggak nyaman.

Wajahnya jadi ditekuk. Asal jepret doang juga. Udah tahu poni saya sigar, tapi nggak ngasih tahu. Padahal dia HARUSNYA tahu betapa HQQnya poni untuk seorang Gesi. 


Lalu nada suara saya akan naik. Bisa ditebak lah abis itu jadi nggak enakan.


Kemudian, jurus pamungkas saya adalah, "Kamu katanya seneng aku bisa punya duit sendiri, ya harusnya kamu mendukung dong. Salah satunya dengan kalau ngefotoin itu yang NIAT!"

Oh well, baca tulisan Adit ini bikin saya semakin ngeh aja bahwa sebenernya Adit tuh dukung-dukung aja. Tapi kadang sisi introvertnya lebih menang, jadi saya pun juga kudu belajar maklum. At least nggak nuduh bahwa dia nggak niat dukung deh. 

Dan saya juga nggak bisa menyamaratakan. Saya nyaman-nyaman aja berpose bodoh di depan orang dan oke-oke aja di tengah crowd, bukan berarti Adit juga akan nyaman hanya karena dia suami saya. 

#terimanasibpunyasuamiintrovert lol

Huhu, maaf juga ya, Pi...



Anyway, sampai sekarang saya masih suka kok pakai stiker. Norak norak biarin deh, abis saya suka sih wek. Untuk kritikan tentang over bright, nah itu saya terima dengan hati lapang karena memang iya hehe.

Tapi yah, kadang saya suka mikir. Adit udah beliin saya kamera. Kalau foto-foto saya tetap nggak lebih oke, apakah dia bakal kecewa? Jadi kadang ada sedikit 'beban' itu yang saya rasain. Semoga nggak, ya. Huhu.

Sebenernya ada lagi cara Adit dukung. Dia bebasin saya bayar pakai cc nya saat saya beli stiker atau aplikasi. Dia juga yang bayarin perpanjangan domain saya tiap tahun. Awalnya saya bilang mau ganti, tapi katanya gausah. Jadi yaudah, sekarang saya nggak pernah bilang mau ganti hahaha. 


Tiap saya ada event yang di Jakarta, juga Adit selalu yang jemput saya di bandara. Masih pake baju kerja, belum mandi, langsung cabut dari kantor dengan wajah lelah. Thanks ya, Pi.

Oke, siapa yang suaminya suka nggak maksimal ngefotoin karena introvert juga kayak Adit? Ngacuuunggg! lol.




Love,





Life in 2017


2017 is almost over. Tiap udah pertengahan Desember begini, suka ngebatin, "Wah kok nggak kerasa ya" gitu nggak sih? Saya iya banget. #tanyakenapa


Tadinya di opening, saya mau describe hidup saya di 2017 dalam satu kata. Ternyata kok susah ya. Nggak nemu yang pas. Err. Jadi yaudah dijembreng aja lah. Bakal panjang ini naga-naganya.

Things come and go. People come and go. Rasanya itu ungkapan yang cukup tepat untuk menggambarkan 2017 saya, dan 2017nya orang-orang juga sih. Hahaha. Ungkapan yang general banget soalnya.

Btw, Windi juga ngerekap 2017. Ceritanya bisa dibaca di sini.

Tahun ini saya bersyukur banget pemerintah udah nyediain vaksin campak rubella gratis. Seneng juga bisa sedikit involved secara langsung dalam iklan layanan masyarakatnya. 


Tapi ternyata itu cukup menguras emosi, especially when dealing with those antivaksin yang ulala kadang nggak make sense. Itu bikin saya makin nyadar kalau capek hati itu ternyata bisa beneran badan ikut capek dan bahkan bisa jadi sakit. Beneran saya jadi kumat migrain kalau abis baca dan debat sama antivaks oh lord berikanku kesabaran biar nggak reaktif sama mereka tolong.

Bawaannya pengen sumpah serapah bener deh.


I feel like a real bad mom this year, tbh.. Karena saya sering nggak sabar ngadepin Ubii, sering ngeluhin Ubii ke Adit. Tantrum-tantrum Ubii yang saya nggak ngerti gimana dealingnya ternyata menguras. Kemarin itu, saya seringnya lihat ke atas. Ke temen-temen berkebutuhan khusus Ubii yang udah banyak progress nya. Lupa buat lihat ke bawah, bahwa masih banyak loh anak-anak lain yang juga masih struggle.

Baca: The Hardest Phase About Having Ubii So Far

Sempet jadi malu sekali karena rasanya saya jadi nggak bersyukur. Sesulit apa pun Ubii dihadapi di rumah, I actually have plenty reasons to be grateful when it comes to her medical needs. Ubii selalu bisa terapi rutin, ke dokter dan nebus obat bulanan rutin. Walau misal agak jauh juga nggak jadi soal karena ada driver. Di rumah pun ada Mbak Nur yang bantuin saya.

Di luar sana masih banyak yang belum bisa seperti itu karena keterbatasan akses dan biaya. Di rumah jagain sendiri mau anak spesialnya udah seberat apa pun karena nggak ada nanny. Belum yang di luar Jawa, biaya ada, tapi tenaga terapisnya yang minim. Kompleks sekali, dan seharusnya saya bisa lebih bersyukur.


Finally bisa mikir gitu setelah udah adem aja. Pas lagi capek-capeknya ya hanya bisa mengeluh, mau apa lagi.

Baca: Ibu Boleh Mengeluh Kok

Ini juga menyadarkan saya bahwa everything comes with a price. Kami bisa menikmati fasilitas kesehatan yang memadai. Vaksin anak-anak dan saya ditanggung asuransi, beli kacamata nggak perlu keluar duit, etc, tapi ya harus LDR sama Adit.

Dulu mikirnya gak pentinglah bisa kecover urusan kesehatannya, yang penting tinggal seatap sama Adit. Reality strikes ternyata gabisa begitu. Kebutuhan kesehatan Ubii banyak. Dan ternyata 2017 ini kepake banget asuransi kantor Adit di saya karena saya opname sekali, bolak-balik ngobatin eksema, tes alergi, butuh kacamata, etc.


All of which makes me realise that ya bener orang Jawa bilang wang sinawang itu. Orang lain liatnya mungkin enak, padahal belum tentu. Temen saya kalo tahu saya bisa pap smear, vaksin HPV, etc pakai asuransi pasti bilang saya beruntung banget. Padahal ada harga harus LDR yang kudu kami bayar.

Baca: Diari Papi Ubii #4 - The Motherf*cker Called Distance

Tahun ini cukup keras buat marriage saya. Kemarin itu pas Ubii lagi difficult karena tantrumnya (4 bulanan kalo nggak salah), saya dan Adit sering banget bertengkar. Kombinasi antara capek, sedih, dan bingung menghadapi Ubii, lalu kami lampiaskan ke satu sama lain. Sempet banget sampai berantem gede yang pakai, "Apa kita cerai aja?"

Berantem sama Adit sih sering. Tapi kalau sampai udah ada the divorce word, itu huge buat kami. Sedih banget kemarin itu bener-bener sedih. Udah lagi capek sama Ubii, eh sama Adit nya juga malah blangsak. Sempet yang ngerasa jadi orang termalang gitu lebay. Pengin minggat tapi urung daripada makin runyam. Pengin tekan tombol off nggak mau mikir apa-apa lagi.

Sedih karena kami bisa sampai kayak gitu padahal nggak ada masalah rumah tangga yang gimana-gimana. Nggak ada orang ketiga. Nggak ada kekosongan nafkah lahir batin. No. Sedih karena kok ya kami got worse malah karena capek menghadapi Ubii, yang padahal at the same time juga alasan kami menikah dan berjuang menyatukan perbedaan.


Sempet yang akhirnya jadi gak kontakan sama Adit sama sekali. Sama-sama masih marah dan empet. Segala sugesti positif jadi terasa bullshit doang, sampai akhirnya kami check in berdua. A little bit drunk dan janjian apapun unek-unek yang kami rasain selama ini, utarain aja. Gaboleh marah karena ya emang inilah the moment of truth. Finally it resolved well. Thanks to Baileys!

Tuhan Maha Membolak-Balik hati manusia itu saya juga rasain banget tahun ini. Dulu, saat Ubii belum pernah setantrum ini, saya ngerasa Aiden's presence is a blessing in disguise. Betapa saya jadi terhibur oleh polah Aiden sehingga kelelahan ngurus Ubii jadi nggak begitu kerasa.

Baca: Aiden's Story 1-7

And then after Ubii had her countless tantrums for 4 months, saya sempet ngerasa sebaliknya. That Aiden's presence is like a disaster in disguise. Iya sih lucu, menghibur, dan dia bikin saya ngakak melulu. Tapi saya jadi lebih tidak sabar saat dealing with Ubii, karena sudah ada 'pembanding' nya. 


Shitty juga di masalah uang. Sempet saya happy banget karena bisa nabung. Lalu 4 bulan stress ngadepin Ubii tantrum itu, saya jadi boros banget. Nyalon lah, pijet lah, makan di luar lah, etc saya cari pelampiasan dan habisin banyak uang. Lalu kini saya ngerasa miskin kesel.

Circle pertemanan saya juga cukup berubah. Ada teman yang pergi, udah nggak sedeket dulu. Ada yang datang. Ada pula yang lama dan masih bertahan. Lama-lama kami sama-sama setuju bahwa yang namanya sahabat itu bukan yang wajib say hi tiap hari, gosipan bareng tiap hari, because come on, waktu dan prioritas udah makin beda. Lama-lama kami menyadari bahwa ya nggak bisa kayak dulu dichat bisa cepet bales lalu ngambek kalau dibales lamaan, karena ya ada hal lain yang mungkin lebih penting didahulukan.

Baca: Friendship Doesn't Always Last

Seorang sahabat saya akhirnya bilang, "Ges, nggak usah terlalu dipikirin kalau ada temen yang pergi. At the end sahabat kita itu ya diri kita sendiri." I guess I understand her point very well.

Untuk personal achievement related to blogging in 2017, I'm pretty satisfied. Tahun ini pageviews blog Diari Mami Ubii per bulan naik banget ketimbang 2016. Jumlah postingan juga lebih banyak ketimbang tahun lalu. 2016 cuman 154 blogpost, tahun ini ada 179.

Baca: Produktifnya Orang

Ada beberapa pembaca baru yang langganan komen atau nge-DM, that makes me happy. Kadang DM nya berkelanjutan jadi ngobrol. Makaci yaaaaa yang udah suka mampir ke blog akikuk mwah mwah!




Actually, saya ngerasa punya circle pembaca baru. Soalnya gini, tahun Desember 2016 itu, saya bikin postingan tentang resolusi 2017 saya mau jadi Gesi yang lebih jujur. Intinya, saya akan memperbanyak menunjukkan diri saya sebagai Gesi yang cuwawakan gajelas begini, ketimbang melulu sebagai Grace Melia yang founder komunitas rubella.


Believe it or not, setelah itu (and maybe setelah gaya nulis saya jadi rada beda, lebih berani nulis tentang certain topic) 2-3 bulanan pageviews blog anjlok. Seolah pembaca yang dulu-dulu lebih suka Gesi yang image nya Grace Melia si founder komunitas yang santun dan lurus. Tapi kan ya bomat. Saya tetep ngeblog-ngeblog aja. Ternyata lama-lama pageviews oke lagi, bahkan higher than last year.

Setelah itu saya ngerasa lebih plong loh. Dulu tuh saya jarang kayaknya upload foto keliatan tato. Nggak seterbuka ini bahas saya dan Adit beda agama. Dan hati-hati banget nyinggung asal muasal saya hamil Ubii. Eventually lelah. I didn't feel comfortable that way. Saya masih seneng pakai celana pendek dan baju kutungan. And I don't think my preggo story with Ubii is something I should be hiding like itu adalah aib. Nggak. Karena saya bangga saya pilih mempertahankan dia even when I was still single that time. Being able to talk about it ternyata bikin saya lebih bahagia.

2017 nggak melulu shitty. Banyak hal yang menyenangkan juga. Bisa ketemu Sheryl Sandberg COO nya Facebook di Singapore, liburan singkat sama Icha dan Windi di Singapore, bisa mulai baca buku lagi, dan bisa garap buku duet sama Icha walau belum kelar tapi udah hepi aja bawaannya.

Baca: Story From Singapore

Tahun 2017 juga tahun di mana saya lebih ngerasa ada beban dari Rumah Ramah Rubella karena ada beberapa project yang terbengkalai nggak jalan terkendala tenaga dan biaya. Cari team yang mau capek voluntarily diajak mikir dan sevisi itu ternyata sulit.

But we've come up with some ideas for next year sih, so yah cukup lega, semoga jalan.

Setelah nulis ini, kalau diminta menggambarkan 2017 in one word, kayaknya saya udah bisa nih.

Exhausting.


Hahahaha, apakah terlalu negatif? Itu sih yang saya rasain hahahaha especially di pertengahan tahun sampai akhir. Soalnya mulai Juli itu udah start campaign imunisasi MR, terus sambung menyambung sama project buku, project sama Facebook, tantrumnya Ubii yang berbulan-bulan, dan blangsak sama Adit.

Tahun depan masih ada kampanye imunisasi MR tahap II. Agenda sama Facebook juga belum kelar. Februari masih mau bikin short film gitu sama mereka dan temen-temen Rumah Ramah Rubella. Jadi kayaknya tahun depan saya nggak pengin bikin personal project yang lain-lain lagi deh. Kelarin agenda Facebook dan buku dulu aja. Rehat nggak mau mikir, terus kampanye imunisasi MR.

Baca: Feeling Small Sucks

Tahun ini sempet mikir yang, "Ah mumpung kan. Mumpung masih muda, harus ingin mencapai dan mengerjakan banyak hal!" Wow ternyata capek. Capek ngatur prioritas, capek mengatur sabar, capek badan sampai sakit.

2017 resolusi saya adalah lebih jujur sama diri sendiri, kayaknya itu tercapai. 2018, resolusinya, mau lebih realistis dalam menyusun mimpi! Dan mau lebih telaten lagi ngelatih Ubii, karena kemarin semangat saya bener-bener drop saat Ubii suka tantrum.

Btw selamat Natal ya bagi yang merayakan, dan selamat liburan untuk semuanya. Sehat-sehat yah!



Love,